Mutiara, mahasiswi Hubungan Internasional dengan minat mendalam pada perdagangan, ekonomi, dan dunia keuangan. Penggemar tontonan yang memperkaya wawasan, saya menyalurkan pemikiran kritis melalui tulisan yang mengupas fenomena global dan lokal dari perspektif unik. Dengan semangat eksplorasi dan keingintahuan yang tinggi, saya terus menggali hal-hal baru yang dapat memperluas cakrawala.

IPK vs Pengalaman: Mana yang Lebih Dicari oleh HRD?

Minggu, 16 Maret 2025 07:26 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Employee Shaking Hands With Boss
Iklan

IPK vs Pengalaman: 56% perusahaan prioritaskan pengalaman kerja daripada nilai akademik. Temukan faktor penentu karir di era kompetensi.

Dalam proses rekrutmen, Human Resources Development (HRD) sering dihadapkan pada pertanyaan: mana yang lebih penting antara Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) dan pengalaman kerja? Kedua aspek ini memiliki peran signifikan dalam menilai kelayakan kandidat, namun prioritasnya dapat berbeda tergantung pada kebutuhan dan kebijakan perusahaan.

IPK sering dianggap sebagai bukti pencapaian akademik seseorang, sementara pengalaman kerja menjadi indikator kesiapan dalam dunia profesional. Meskipun ada perdebatan mengenai mana yang lebih penting, banyak perusahaan kini lebih mengutamakan kandidat yang memiliki keseimbangan antara keduanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

IPK sebagai Indikator Prestasi Akademik

IPK sering dijadikan filter awal dalam seleksi kerja, terutama di perusahaan besar atau institusi yang mengedepankan latar belakang akademik. Perusahaan seperti perbankan, konsultan, dan pemerintahan sering menetapkan batas IPK minimal 3,00 sebagai indikator kemampuan analitis dan disiplin belajar kandidat.

Namun, IPK bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan dalam dunia kerja. Sebuah laporan dari National Association of Colleges and Employers (NACE) menunjukkan bahwa hanya 43% perusahaan masih menganggap IPK sebagai faktor utama dalam perekrutan. Setelah tahap administrasi, perusahaan lebih fokus pada keterampilan teknis, pengalaman praktis, dan kemampuan interpersonal.

Studi lain dari Job Outlook 2024 mencatat bahwa 56% perusahaan lebih mengutamakan pengalaman kerja dibandingkan IPK, sementara hanya 15% yang masih menjadikan IPK sebagai faktor utama dalam penentuan perekrutan. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara harapan akademik dan realitas di dunia kerja.

Selain itu, IPK tinggi tidak selalu mencerminkan kesiapan menghadapi tantangan dunia kerja. Mahasiswa dengan IPK tinggi bisa jadi memiliki pemahaman akademik yang kuat, tetapi tanpa pengalaman kerja atau keterampilan tambahan, mereka bisa kesulitan beradaptasi di dunia profesional. Sebuah survei dari Harvard Business Review menunjukkan bahwa 40% lulusan baru dengan IPK tinggi mengalami kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan di tahun pertama setelah kelulusan karena kurangnya pengalaman praktis.

Dalam bidang yang sangat bergantung pada teori, seperti akademisi atau penelitian, IPK mungkin masih memiliki bobot yang besar. Namun, di industri yang bergerak cepat seperti teknologi atau bisnis, kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan beradaptasi lebih dihargai dibandingkan pencapaian akademik semata.

Pengalaman Kerja sebagai Cerminan Keterampilan Praktis

Di era saat ini, banyak perusahaan lebih mengutamakan pengalaman kerja dibandingkan IPK. Kandidat yang memiliki pengalaman kerja cenderung lebih memahami lingkungan profesional, lebih cepat beradaptasi, dan bisa langsung memberikan kontribusi. 91% HRD lebih memilih kandidat dengan pengalaman kerja, bahkan jika IPK mereka tidak terlalu tinggi (LinkedIn Talent Solutions).

Banyak perusahaan teknologi seperti Google, Tesla, dan IBM telah menghapus syarat IPK minimum dalam perekrutan mereka. Mereka lebih menekankan pengalaman, proyek, dan keterampilan nyata dibandingkan pencapaian akademik. Hal ini menunjukkan bahwa dunia kerja semakin bergeser dari pola rekrutmen berbasis IPK menuju pendekatan berbasis kompetensi.

Selain itu, pengalaman kerja juga berdampak pada ekspektasi gaji dan jalur karier. Kandidat dengan pengalaman relevan sering kali mendapatkan posisi dengan tanggung jawab lebih besar dan jalur promosi yang lebih cepat dibandingkan lulusan baru dengan IPK tinggi tetapi tanpa pengalaman.

Sebuah studi dari World Economic Forum tahun 2023 menunjukkan bahwa 76% dari pekerja yang memiliki pengalaman kerja magang sebelum lulus mendapatkan pekerjaan dalam waktu enam bulan setelah wisuda, dibandingkan hanya 42% dari mereka yang tidak memiliki pengalaman kerja sama sekali.

Dalam bidang industri kreatif seperti desain grafis, video editing, dan digital marketing, pengalaman dan portofolio menjadi faktor utama dalam perekrutan. Bahkan dalam dunia akademik, meskipun IPK tinggi tetap penting, publikasi jurnal dan penelitian yang sudah dilakukan lebih berpengaruh dalam mendapatkan posisi sebagai dosen atau peneliti.

Keterampilan Lain yang Dipertimbangkan oleh HRD

HRD tidak hanya mempertimbangkan IPK dan pengalaman kerja, tetapi juga faktor lain seperti soft skills, sertifikasi tambahan, dan kecocokan budaya perusahaan.

Kemampuan komunikasi, kepemimpinan, kerja sama tim, dan pemecahan masalah sering kali menjadi faktor penentu diterima atau tidaknya seorang kandidat. Dalam survei yang dilakukan oleh McKinsey & Company, 85% HRD menyatakan bahwa soft skills lebih penting dibandingkan IPK dalam perekrutan karyawan baru.

Di beberapa industri, sertifikasi tambahan dan pelatihan teknis lebih dihargai dibandingkan IPK. Misalnya, dalam bidang data science dan digital marketing, kandidat yang memiliki sertifikasi Google, Microsoft, atau Coursera akan lebih dipertimbangkan dibandingkan mereka yang hanya mengandalkan IPK tinggi.

Selain itu, kemampuan untuk belajar hal baru dengan cepat menjadi aspek penting. Dunia kerja terus berkembang, dan kandidat yang fleksibel serta mudah beradaptasi lebih dihargai dibandingkan mereka yang hanya memiliki pencapaian akademik tinggi tetapi kurang inovatif.

Cerita Nyata: Mama Mumu, Lulusan UGM dengan IPK 3,94 yang Bekerja sebagai Kaigo di Jepang

Contoh nyata yang menarik adalah kisah Mama Mumu, seorang lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan IPK 3,94, yang akhirnya bekerja sebagai kaigo (perawat lansia) di Jepang.

Meskipun memiliki prestasi akademik gemilang, ia menghadapi keterbatasan peluang kerja di Indonesia. Faktor ekonomi dan realitas pasar kerja membuatnya memilih pekerjaan yang berbeda dari latar belakang pendidikannya. Namun, keputusan ini membawanya pada kestabilan finansial yang lebih baik. Dengan gaji sekitar 180.000 yen per bulan (Rp19,5 juta), ia berhasil menabung dan membeli rumah serta mobil dalam waktu delapan tahun.

Kisah ini menjadi bukti bahwa meskipun IPK tinggi dapat menjadi keunggulan, tetapi pengalaman kerja dan kesiapan menghadapi tantangan lebih menentukan kesuksesan dalam jangka panjang.

Baik IPK maupun pengalaman kerja memiliki peran dalam proses rekrutmen, tetapi tren saat ini menunjukkan bahwa pengalaman dan keterampilan praktis semakin menjadi prioritas utama bagi HRD.

IPK tinggi masih dianggap sebagai bukti kemampuan akademik, tetapi bukan satu-satunya indikator kesuksesan dalam dunia kerja. Kombinasi antara prestasi akademik, pengalaman kerja, keterampilan tambahan, serta kemampuan beradaptasi menjadi kunci utama dalam meningkatkan peluang diterima kerja.

Seiring perkembangan industri, pendekatan berbasis data dan teknologi dalam rekrutmen juga mulai mengubah cara perusahaan menilai kandidat. Oleh karena itu, lulusan baru harus lebih proaktif dalam mengembangkan keterampilan praktis, membangun portofolio pengalaman, serta memperoleh sertifikasi tambahan untuk bersaing di pasar kerja yang semakin dinamis.

 

 

Referensi

Brilio.net. (2020, 25 Februari). Lulusan UGM IPK 3,94 susah dapat kerja layak di Indonesia, wanita ini pilih jadi buruh di Jepang. Retrieved from https://www.brilio.net

Career Development SIU. (2023). 2023 NACE job outlook spring update. Retrieved from https://careerdevelopment.siu.edu

GoodStats. (2024). Lebih dari 80% rekruter menilai pengalaman kerja saat rekrutmen. Retrieved from https://data.goodstats.id

Huneety. (2024). Mengapa soft skill dibutuhkan dalam rekrutmen? Retrieved from https://www.huneety.com

Kompas. (2020, 28 Januari). 5 kesalahan ini buat mahasiswa sulit dapat pekerjaan. Retrieved from https://edukasi.kompas.com

LinkedIn Talent Solutions. (2024). Global talent trends. Retrieved from https://business.linkedin.com

LinkedIn - Nusawork. (2024). IPK berpengaruh terhadap karier: Mitos atau fakta? Retrieved from https://id.linkedin.com

LinkedIn - Tosepu, Y. A. (2024). Bukan IPK, dunia kerja butuh keahlian. Retrieved from https://id.linkedin.com

LinkedIn - Wibowo, R. (2024). 10 kesalahan yang harus dihindari pencari kerja di LinkedIn. Retrieved from https://id.linkedin.com

National Association of Colleges and Employers (NACE). (2024). Internship and co-op report executive summary. Retrieved from https://cdn.uconnectlabs.com

Pewarta Indonesia. (2024, Desember). Memahami peran soft skill dalam pengembangan karir. Retrieved from https://pewarta-indonesia.com

Soft Skills Academy. (2024). Soft skills sebagai alat prediksi kesuksesan. Retrieved from https://softskillsacademy.id

Supersonality. (2024). Meningkatkan produktivitas karyawan dengan pelatihan soft skill. Retrieved from https://supersonality.com

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Mutiara

S1 Hubungan Internasional

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler